Senandung Sendu di Akhir Waktu
Rumanti H.S.
Gerimis petang semakin menguatkan pengembaraanku ke masa kecil dahulu saat kami masih tinggal serumah berempat. Mendung yang menggelayut manja di langit kian mengingatkan kenanganku tentangnya. Terbayang kembali ketika kami duduk mengitari meja makan dengan diiringi sikap bapak yang teramat khusuk seperti hendak melaksanakan ibadah salat. Yah, begitulah sikap bapak setiap harinya. Beliau teramat santun dalam menghadapi berbagai keadaan yang ada di depannya. Mengingat sikap bapak yang demikian, kami mau tidak mau turut serta menyesuaikan diri Yang sebenarnya, aku ingin protes karena di atas meja hanya tersedia nasi dan telur dadar dengan ukuran teramat kecil.
Kami berempat terdiam semuanya tak ada yang berani memulai mengambil nasi apalagi lauknya. Melihat kondisi yang demikian, bapak secara perlahan mendekatkan piring ke arah nasi. Namun, ia tidak segera mengambil nasi itu.
"Ayo, Ndhuk kamu yang mengambilkan nasi untuk berempat."
Untuk itu, aku segera tergerak mengisi piring bapak dengan nasi.
"Sudah, gantian untuk Mbok -, Yu Mar, dan terakhir kamu."
Tanpa komentar, aku segera melaksanakan instruksi yang diberikan Bapak hingga semua piring - piring kami terisi nasi.
"Nah, sekarang Yu Mar yang membagi telurnya. Ambil pisau, dan bagi telur ini menjadi empat.."
Dengan penuh kehati-hatian, Yu Mar memotong telur dadar itu menjadi empat. Tujuannya agar masing-masing memiliki ukuran yang sama besarnya.
"Wah, pinter sekali mengirisnya sehingga masing - masing sama besarnya."
Dipuji demikian, pipi Yu Mar bersemu merah sebagai pertanda ia sangat bangga dan bahagia.
Simbok yang dari tadi hanya diam sambil memperhatikan aktivitas kami pada malam itu, kini angkat bicara," Sini, sekarang giliran Mbok _e yang membagikan telurnya”.
Setelah itu, kami mulai makan sesuai dengan bagian masing-masing. Walaupun makan dalam porsi yang sangat terbatas ternyata tetap mampu memberikan rasa nyaman bagi kami sekeluarga. Malam kian beranjak naik. Di luar terdengar suara - suara cengkerik berdendang. Sambil rebahan, seperti biasanya Bapak menyanyikan tembang - tembang Jawa semacam dhandhang gula dan maskumambang. Masih kuingat beberapa syairnya yaitu tentang hidangan menu makanan yang teramat lezat walaupun hanya dalam bayangan. Beginilah syair itu: empal bantheng kodhomoro sapi, gecok kidang dhendengira menjangan. Maesa garang aseme menda binecekipun... Dengan lirik tembang Jawa itu, setidaknya bisa menghibur diri dari kondisi sebenarnya yang terjadi.
Sampai akhirnya, bapak memintaku untuk memijit kaki dan tangannya.
"Tak kasih cerita wayang, Ndhuk," katanya.
Walaupun sambil mengantuk, aku berusaha mengikuti permintaan bapak dengan diikuti satu pertanyaan,"Wayang Bagong, Pak?"
Sudah menjadi kebiasaan juga, Bapak bergaya sebagai seorang dalang yang sedang memainkan wayang.
"Kakang Semar .. Eeee, kula Ndoro,"
Dalam satu frame Bapak menggunakan dua warna suara. Aku sudah hafal dengan dialog itu. Kalimat pertama diucapkan dengan nada suara Janaka, penengahnya Pandawa. Kalimat kedua diucapkan dengan nada suara Semar, bapaknya para punakawan. Dialog berikutnya terjadi dengan sangat menawan hingga membawa anganku membayangkan seolah turut dalam cerita itu. Dikisahkan,Janaka sedang beristirahat di tengah hutan bersama para punakawan yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Janaka sedang bersedih hati. Para punakawan berusaha menghibur Ndoro_nya itu dengan berbagai cara. Di antaranya dengan nembang dan cangkriman.
Cerita berlanjut dengan kehadiran Cakil.
Bapak mendalang entah sampai jam berapa aku tidak tahu. Yang jelas, saat aku terjaga dari tidur Bapak pun juga sudah terlelap. Kenangan indah masa kecil itu masih saja terpatri kuat dalam benakku hingga aku remaja dan akhirnya telah berkeluarga . Bapak telah menjadi figur utama dalam perjalanan hidupku dari kecil hingga akhirnya menua bersama. Sore menjelang petang, langit di atas nampak muram. Ada semburat merah di ufuk barat yang sangat tajam hingga mata ini silau untuk melihatnya terlalu lama. Ayam di kebun sudah naik ke pepohonan. Rupanya, mereka ingin segera tidur dan beristirahat. Sepertinya, mereka ingin segera mengusir lelah karena seharian mencari makan Dengan segera tidur mereka bisa bangun pagi-pagi agar mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Kusibakkan sebentar jendela kamar sebelum akhirnya kututup rapat. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar kicauan burung isyarat kehadiran malaikat maut . Ya, dalam kehidupan masyarakat di pedesaan nyanyian burung kematian itu sebagai sebuah pertanda akan ada seseorang yang meninggal dunia. Entah kenapa, angan ini tertuju pada Bapak yang tinggal nun jauh di sana, tempat kelahiran yang lama telah ku tinggalkan.
"Lho, kenapa Bapak?"
Aku menjadi teringat pertemuan terakhir itu. Tidak seperti biasanya, sehari sebelum berangkat pulang aku sangat merindukan masa- masa kecil bersama dahulu. Ingin sekali masa - masa tinggal berempat dengan Bapak, Mbok -e, dan Yu Mar dahulu terulang kembali. Kuatnya keinginan untuk kembali ke masa lalu itu membuat diriku tidak fokus dalam perjalanan ke kampung halaman. Juga, pertemuan dengan Bapak pada tengah malam sekitar pukul 00.00.
"Kok, sampai rumah jam segini, Ndhuk? Tadi berangkat jam berapa?"
"Sepulang sekolah, Pak. Setelah Ashar."
"Ini ada kurma, Ndhuk. Oleh - olehnya Mas Arif dari umrah."
Kurma itu kuamati sebentar. Di samping kurma ada juga kacang Arab dan sebotol kecil air zam-zam. “Alhamdulillah. Untuk besok saja, Pak. Sudah mengantuk berat,nih.”
***
Bapak tidak sabar lagi untuk segera sampai ke rumah Yu Mar. Menurut cerita Iyu, Bapak menolak dijemput kalau bukan diriku. Sepanjang perjalanan menuju tempat resepsi, Bapak hanya diam tak bicara sepatah kata pun. Aku tak berani mengusik ketenangan sikap Bapak. Hanya saja, aku sedikit heran saat sampai di depan halaman tempat resepsi pernikahan. Nampak kedua matanya berkaca-kaca dan akhirnya beliau mengeluarkan sapu tangan. Dengan sapu tangan itu, dicobanya mengusap air mata yang keluar dari kedua bola matanya. Dari arah dalam, putra sulung Iyu datang. “Pripun, Mbah. Mlebet mawon, nggih.”
Ari mengatakan demikian sambil merengkuh bahunya Bapak. Selanjutnya beliau duduk di dekat panggung tempat resepsi pernikahan berlangsung. Sepertinya, tidak ada sesuatu hal pun yang perlu aku cemaskan. Selama prosesi pernikahan putra ketiga Yu Mar, kondisi Bapak baik-baik saja. Saat acara foto keluarga, bapak juga mengikutinya dengan tiada halangan apa pun. Setelah usai acara pernikahan, kami berkumpul dan ngobrol bersama dengan diiringi canda dan tawa.
“Kalian adalah hiburan utama untuk Bapaknya ini,” kata Bapak akhirnya.
“Pak, ini aku langsung pulang lho soalnya Mas Adi masih grogi menyetir mobil sendiri jarak jauh.”
“Inggih, Pak. Soalnya Anto tidak menjemput. Kula grogi nek nyetir ndalu-ndalu niku,” suamiku menambahi penjelasanku.
“Lha Bapak pripun. Ikut saya saja, po?” kataku menawari sekenanya.
“Jane ya pingin.”
Pikirku, Bapak berkata demikian hanya basa-basi saja. Sebabnya, setiap kali aku ajak ke rumahku selalu saja beralasan. “Dua minggu lagi aku pulang kok, Pak,” jawabku akhirnya.
Aku kurang cermat membaca isyarat itu. Aku kurang peka memahami kalimat Bapak itu. Belum genap seminggu dari kepulanganku, ada kabar mengejutkan yang sampai kini belum bisa kuterima kebenarannya.
“Buk, Ari telepon. Bapak meninggal dunia.”
Profil Penulis:
Rumanti, lahir di Klaten provinsi Jawa Tengah, tepatnya di desa Tarubasan kecamatan Karanganom kabupaten Klaten. Perempuan yang sudah dipanggil Uti oleh dua cucunya ini bertugas sebagai guru di SMP negeri 2 Bandar kabupaten Batang sejak 1991 hingga sekarang. Walaupun ia merasa terlambat untuk menekuni dunia kepenulisan, tetapi masih tetap mensyukurinya dengan berusaha terus berkarya semampunya.
Dari ketekunannya menulis pada dua tahun terakhir ini telah membuahkan dua buah buku solo maupun antologi. Untuk buku solo berupa kumpulan puisi dan kumpulan cerpen. Masing-masing berjudul Meniti Jejak Tepian (2020) dan Surat Rahasia (2021). Untuk buku antologi, merupakan hasil menulis bareng di NoBaper 4 sampai dengan 12 dan spesial HGN. Buku antologi yang lainnya dari Guru Motivator Literasi, Lini Kreatif Writing, dan dari Pusaka Publishing berjudul “Warna Kasih Ibunda”. Partisipasinya dalam lomba di MGI membuahkan 5 judul buku antologi yang sedang proses cetak, salah satunya dalam tema “Lancar Berbahasa Kreatif Berkarya”. Semoga lomba MGI edisi bulan Februari ikut menambah jumlah buku antologinya.
Sangat menarik dan bermanfaat
BalasHapus