REPUBLIKA.CO.ID, Prediksi tentang pandemi Covid-19 akan mulai menurun atau diharapkan sudah hilang bersama dengan berakhirnya tahun 2020 ternyata jauh panggang dari api. Bahkan, justru di penghujung tahun ini, grafik kenaikan kasus Covid-19 melonjak tajam. Sejumlah wilayah di Indonesia kini berstatus zona merah.
Kenaikan kasus aktif semakin lama semakin cepat. Ketua Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, libur panjang selalu memicu kasus baru dalam jumlah besar. Begitu juga kepatuhan pada protokol kesehatan kian mengendor.
Sejak periode Maret hingga Desember, Satgas Covid-19 mencatat data kenaikan tertinggi dalam waktu yang tersingkat terjadi pada periode November hingga Desember. Kasus aktif meningkat dua kali lipat, dari 54.804 menjadi 103.239 hanya dalam waktu satu bulan.
Peningkatan kasus ini akhirnya mengubah kebijakan pemerintah salah satunya di bidang pendidikan. Pemerintah telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19.
SKB itu membuka peluang pembelajaran tatap muka di sekolah bisa dilaksanakan pada Januari 2021. Tentu saja, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Sehingga, pembukaan sekolah tidak menjadi klaster baru penyebaran wabah Covid-19.
SKB Empat Menteri ini tidak mewajibkan pembukaan sekolah. Pembukaan kembali sekolah tatap muka, keputusannya diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Semua tergantung kesiapan daerah. Jika belum kondusif, boleh menunda dulu. Yang sudah siap, boleh membuka dan lakukan pembelajaran tatap muka.
Keluarnya SKB ini pun disikapi beragam oleh pemda. Ada yang sudah menyatakan akan memulai pembelajaran tatap muka pada Januari 2021, ada yang belum memutuskan, ada yang menunda.
Namun SKB Empat Menteri ini juga menuai kritik. Salah satunya dilontarkan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI). IGI menilai langkah menyerahkan keputusan sekolah tata muka ke Pemda atau sekolah dan orang tua siswa sangat berpotensi menambah kerugian anak didik yang semakin besar.
Ini ibarat mobil tua yang sedang mogok, onderdilnya bermasalah, diajak menanjak sudah tidak kuat, di jalan bergelombang pun makin repot.
Kemendikbud sendiri telah mengakui kegagalan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Dengan adanya SKB Empat Menteri, IGI menganalogikan kebijakan ini ibarat mobil tua yang sedang mogok, onderdilnya bermasalah, diajak menanjak sudah tidak kuat, di jalan bergelombang pun makin repot.
Tetapi Kemedikbud malah membuka ruang untuk tetap memaksakan mobil mogok itu tetap berjalan dan menyiksa sebagian besar penumpang yang ada di atasnya. Kemendikbud sebagai regulator terus membiarkan mobil mogok ini menanjak dan berpotensi untuk mundur dan jatuh ke jurang.
Melihat situasi dan kondisi terakhir Covid-19, boleh jadi akan banyak pemerintah daerah tak berani membuka sekolah di bulan Januari apalagi dengan rekor pertambahan yang terus terjadi. Jika pun ada Pemda yang berani buka sekolah, maka ketika ada serangan baru yang menimpa anak didik ataupun guru maka hampir bisa dipastikan pembelajaran akan kembali ke rumah. Sehingga situasi ini akan terus terjadi tanpa perbaikan sama sekali. Akankah ini terus terjadi, sedangkan pandemi Covid-19 belum jelas akhirnya, meskipun vaksin sudah datang dan siap disebarkan?
Pengalaman PJJ yang dilakukan siswa maupun mahasiswa selama sembilan bulan ini, telah memunculkan stres di kalangan siswa dan orang tua. Tapi sesungguhnya bukan karena pembelajaran jarak jauh. Namun bisa jadi karena minimnya kemampuan guru memberikan pembelajaran jarak jauh